Tentang doa-doa di tanah Bagan

July 30, 2017

They kneel down inside the temple; facing to Buddha
Their hands merge in front of their chest
There are rows and rows of prayer
A solitude of a servant; a moment of silence


Apa yang lebih baik dari pergi beratus-ratus kilometer ke antah berantah dan menghabiskan beberapa jam untuk merenung di jam-jam menjelang subuh? Bertemu orang-orang yang kulitnya terbakar matahari, berbahasa ibu yang ambigu, dengan senyum yang kaku. Sungguh kami membuat rencana yang tidak akan pernah kami sesali seumur hidup dengan mengunjungi negara yang pemalu.

Udara di Old Bagan tidak pernah bisa dibilang sejuk, meski sebagian besar wilayahnya adalah hamparan tanah berdebu tapi udara pagi itu cukup hangat. Setelah kami menghabiskan beberapa jam nongkrong di atas Buledi Pagoda dari sebelum matahari terbit hingga matahari cukup tinggi, kami memutuskan untuk meruntut kembali itinerary yang sudah kami buat. Perut kami cukup keroncongan, kami baru ingat terakhir kali kami makan adalah saat makan siang kemarin di restoran Golden City Chetty. Selebihnya kami hanya mengemil sepanjang perjalanan, memenuhi perut kami dengan roti, buah, keripik, permen, dan apa saja yang bisa dimakan. Mr. Aung Myint menawarkan untuk mampir ke sebuah restoran sebelum kami bergerak ke hostel. Sontak kami setuju, sepertinya kami memang kelewat lapar.

Tak lama setelah itu kami tiba di sebuah kedai lokalan yang disarankan oleh Mr. Aung Myint. Kami bergegas mencari meja yang kosong dan mulai mengamati menu-menu yang dihidangkan. Well, sekali lagi menunya berisi tulisan-tulisan keriting yang tidak kami pahami. Di kedai ini pun kami tidak menemukan penanda halal atau cap MUI. Sepertinya impianku untuk makan a la orang-orang Myanmar kandas sudah. Kami memesan nasi putih tujuh porsi (pelayannya tak berbahasa Inggris sehingga kami harus gugling foto nasi putih dan menunjukkan padanya) dan teh, lalu buru-buru mengambil abon-abonan, sambal, dan kering kentang di dalam mobil. Hal yang paling kami sukai di Myanmar adalah pelayanannya yang cepat, tidak butuh waktu lama tujuh porsi nasi lengkap dengan bermacam-macam pendamping tersedia di meja kami. Ya, jika kami hanya memesan nasi pun, selalu ada makanan pendamping yang diberikan cuma-cuma seperti sejenis ikan teri berbumbu, kuah asin, sayuran, dan sejenis sambal. Tapi bagi kami penggila es teh, sepertinya kami harus berbesar hati dengan minum teh susu kental tidak dingin yang dihidangkan dalam cangkir yang tak terlalu besar. Whatever, bon appetit!

Setelah kenyang dan puas dengan sarapan pagi itu, kami berkendara menuju hostel. Hostel kami cukup jauh dari downtown yang kebanyakan dikunjungi turis-turis berkantong lebih tebal. Kami sengaja memilih hostel yang nyaman dan tidak terlalu menguras kantong, sehingga menjauh dari pusat kota adalah keputusan yang tepat. Hostelnya cukup murah dengan fasilitas yang cukup standar, alhamdulillah ada wifi yang bisa kami gunakan, kasur empuk untuk tidur, kamar mandi dalam, daaaaannn televisi yang menyiarkan channel-channel yang tak kami pahami bahasanya. Semua urusan booking hostel Ever New Guest House ini disiapkan oleh Mbak Anggung, go ask her if you need any help or kindly check her blog!



Penjual bedak thanaka di pelataran candi

Sekitar pukul dua belas kami kembali di jalanan gersang Old Bagan. Setelah mampir makan siang, kami bergegas mengejar waktu, mengecek itinerary selanjutnya yaitu seharian menghabiskan waktu untuk mengunjungi candi-candi disini. Di luar dugaan, jalanan Bagan terhitung sepi dengan banyak candi di kiri kanan yang telihat mencuat dari hamparan tanah tandus. Kami mengunjungi beberapa candi besar seperti Ananda Phaya, Schewizigon Pagoda, Dhammayangzi Temple, dan beberapa candi yang bahkan aku tidak tahu namanya. Kami memutuskan untuk mengunjungi candi-candi yang besar dan cukup ramai karena candi-candi yang kecil teramat banyak, cenderung tidak berpenghuni dan tidak ada aktivitas di dalamnya (kan nggak seru!). Usut punya usut, kata Mr. Aung Myint ada sekitar dua ribuaan candi yang telah dibangun di atas Old Bagan sejak tahun 1812. Banyaknya candi disini dikarenakan kepercayaan masyarakatnya bahwa setiap keluarga wajib membangun setidaknya satu candi untuk beribadah. Tak jarang mereka lebih memilih untuk mempercantik tempat ibadah mereka dari pada memiliki rumah yang layak. Nah, Old Bagan ini dikhususkan sebagai cagar budaya untuk pelestarian pagoda, candi, atau situs bersejarah lainnya. Sehingga kini penduduk lokal direlokasi untuk tinggal di daerah sekitar Old Bagan yang dilabeli New Bagan.

Candi-candi besar itu juga masih difungsikan sebagai tempat ibadah sehingga kami harus hati-hati dan tetap respect saat mengunjunginya seperti memakai pakaian yang sopan dan tidak minim. Kami juga harus melepas sepatu kami dan bertelanjang kaki setiap masuk ke dalam atau merangkak ke atapnya. Orang-orang di Bagan berpenampilan tidak berbeda dari orang-orang di Yangon. Kami malah lebih sering bertemu dengan biksu-biksu berbalut kain merah maroon atau kuning mustard yang lalu lalang di dalam pagoda dan candi. Tak jarang seiring dengan kami menyusuri setiap bangunan-bangunan candi, kami melihat orang-orang yang dengan khusuk bersimpuh dan merapal doa-doa di depan patung Buddha. Sepertinya orang-orang Bagan punya loyalitas yang tebal terhadap agama mereka. Like all the time they're sitting there and pray!










Meski banyak penjual cinderamata dimana-mana, hampir di semua candi yang cukup ramai selalu ada tulisan kurang lebih begini "Buddha is not an accessory, please don't buy it". Kenapa? Karena hampir semua penjual cinderamata biasanya menjual hiasan-hiasan berbentuk Buddha mulai dari yang berbahan kayu hingga berbahan kuningan dengan harga yang cukup murah. Mungkin bagi mereka, menjajakan atau membeli patung-patung Buddha adalah sebuah pelecehan terhadap agama mereka sendiri. Who knows. Padahal aku sudah tergoda untuk membeli satu, akhirnya tidak jadi demi menghargai keyakinan mereka ehehehe ... akhirnya aku memborong banyak postcard yang dijajakan oleh anak-anak Bagan. Another story, anak-anak Bagan pandai berbahasa Inggris, sayangnya entah kenapa mereka lalu lalang di tempat wisata dan menjual postcard atau cinderamata pada saat hari-hari biasa, aku jadi bertanya-tanya apakah mereka sekolah atau tidak. Terkadang mereka menunjukkan mata uang negara si turis berasal, kami juga menjumpai beberapa lembar rupiah ditangannya. Bagian yang menyedihkan adalah ketika mereka bilang 'aku tidak membutuhkan uang dari negaramu, uang-uang ini tak akan bisa dibuat apa-apa atau ditukarkan, aku membutuhkan Kyat'. Humanity is really needed here, kami merasa apa yang mereka lakukan tidak jauh berbeda dengan mengemis and it's heart-breaking tho.




Oh iya, makan siang kami hari itu adalah makan siang terbaik selama kami tinggal di Myanmar. Mr. Aung Myint mengantarkan kami ke sebuah warung sederhana yang tidak jauh dari tempat kami sarapan. Pemiliknya adalah seorang muslim, kenalannya. Jadi dipastikan kami akan makan lebih enak dan lebih kenyang karena 100% halal, yeay! Meski kami harus makan kari (lagi) tapi kali ini rasanya sangat enak hingga rasanya kami bisa menghabiskan berpiring-piring nasi. Kami memesan tujuh porsi kari ayam lengkap dengan nasi putih, daaaaann seperti biasa banyak sekali hidangan pendamping lainnya yang disediakan sampai-sampai meja kami penuh oleh makanan. Harganya pun tidak jauh berbeda dengan harga kari yang kami makan di Yangon.


Sorenya kami kembali mencari spot yang bagus untuk menghabiskan hari itu dengan memandang jauh ufuk barat. Langit sore itu kelewat bersih, tidak ada awan-awan menggumpal di atas Bagan. Mataharinya memerah, membuat semesta berwarna semburan oranye dan biru gelap. Kami bertemu beberapa turis asal Eropa dan bercengkrama sembari menanti Old Bagan ditelan gelap.



#ForYourInformation
- Kami merasa cukup sulit menemukan makanan halal di Myanmar, sehingga tidak ada salahnya membawa sedikit perbekalan untuk jaga-jaga
- Ada baiknya membuat reservasi hostel terlebih dahulu sebelum keberangkatan, karena penginapan di Bagan sering full booked, lagi pula memesan jauh-jauh hari akan menguntungkan karena harga yang relatif murah dibanding on the spot reservation
- Matahari di atas Bagan sangat terik, tanahnya berdebu dan pepohonan disana sangat minim, jadi membawa sunscreen dengan SPF tinggi, masker, dan topi sangat disarankan
- Memakai sandal lebih disarankan jika kamu malas mencopot dan memakai sepatumu saat mengunjungi candi-candi disana
- Penjual minuman merupakan satu-satunya oase bagi kami untuk meredakan dahaga dan panas yang terlalu menyengat (I swear it was hotter than Surabaya!), harga dagangannya juga tidak mahal sehingga aku berkesimpulan living cost disana tidak akan jauh berbeda dengan di Surabaya
- Selain berkendara dengan mobil, wisatawan juga bisa menyewa sepeda listrik, sepeda manual, hingga naik delman (aku tidak tau soal harganya)
- Esok paginya kami berkendara ke Yangon dengan Shwe Mandalar Bus, harganya lebih murah (sekitar 13.000 Kyat atau ± IDR 130.000) karena termasuk kelas bisnis. Tapi kami hampir saja ketinggalan penerbangan menuju Bangkok karena jadwal kedatangan bus yang tidak menentu (untung kami terbantu oleh mbak-mbak Myanmar yang bersekolah di Singapore sehingga ia bisa berbahasa Inggris dan membantu kami mencari taksi!), jadi sepertinya berkendara dengan JJ Express Bus lebih disarankan.

XOXO,
Rofaramadhani

You Might Also Like

4 comments

  1. Yey! Uchik nulis lagi :D. Makan siang kita sebelum keliling candi. Selalu suka sama gimana kamu cerita. haha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaaa, kita makan siang sebelum keliling candi! Aku baru sadar kalo jarak sarapan dan makan siang kita ngga jauh ye Mas, tapi kenapa waktu itu aku ngerasa laper terus ya wkwkwk. Well thanks Mas, ngga rugi yo koncoan ambe awakmu :)))

      Delete
  2. Sumpah KEREN AF perjalanan kamu kesana...walaupun late post, fotonya bagus banget chik...enak diliat dan dibaca,

    anw, I love ur new blog template...terus menginspirasi yaa ^o^ luv luv..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aw thanks for the appreciation Andin! Soal foto-foto ini aku mah udah pasrah, mau ngedit ala-ala kayak selebgram tapi ngga bisa, jadi seadanya aja ehehehe. Thanks for being a loyal reader! *kisskissmuah*

      Delete