"Mengapa cinta membuatku mencintaimu,

ketika pada saat yang sama

kau mencintai orang yang bukan aku?"

21 Januari

“Hujan pertama di musim ini. Aromanya selalu candu. Seperti dirimu, si pengobat rindu.”

Lamunanku terpecah ketika petir mengamuk cukup keras. Kilatannya silau membuyarkan nostalgia lama. Aku masih orang yang sama. Si pemimpi berkacamata yang hobi duduk sendiri. Sore ini di kedai kopi, bangku paling pojok kiri dekat dinding, tapi punya jendela. Selalu jadi tempat favorit bagi kemarin, esok, dan seterusnya.

        Rintik hujan sore itu melayangkanku pada dirimu. Masa lalu. Masih saja aku ingat genggam tangan itu, yang menarikku pada tempat ini di 21 Januari, dua tahun yang lalu. Kau selalu bilang ‘ini tempat favoritku’ setelah kita duduk dan memesan dua cangkir kopi, selalu saja begitu. Meskipun kau tau, aku tak pernah lupa secuil pun tentang dirimu.

          Hari ini 21 Januari, aku masih saja menunggu. Memandang keluar jendela, melihat titik air meluncur dingin, dan sesekali memainkan embunnya dikaca jendela. Iya, memainkan embunnya. Seperti yang sering kau lakukan jika hujan mengguyur tepi kota. Mengusap kaca jendelanya dengan telunjukmu dan membuat segala bentuk yang aku inginkan.

            “Aku maunya kamu gambar sesuatu yang aku banget.”, kataku waktu itu.

           Jarimu mulai lincah membuat bentuk. Menggambar sambil bercerita ini itu.

        “Kau itu seperti bunga. Cantik. Menarik. Baik. Rela aja gitu susah demi orang yang butuuh. Contohnya kayak pas serangga butuh nektar kamu.”, katamu berseri sambil terus mengusap kaca jendelanya.

          21 Januari. Hujan. Jendela. Bunga. Yang membuatku masih rela menunggu dirimu. Meski aku tak tau dimana dirimu, dan hatimu.